Senin, 24 Desember 2007

Selisik Kang Muhlis

Andaikan Abu Nawas Jadi Bupati Ciamis

Oleh Ahmad Mukhlis


Abu Nawas adalah tokoh sufi yang dikenal zuhud. Suatu hari ia pergi ke pasar melihat pedagang kursi yang lengah. Akhirnya terbersit dalam pikirannya untuk mencuri kursi dan benar saja ia pun nekat mencuri kursi lalu didudukinya. Semua orang yang melihat kelakuan Abu Nawas tercengang dan sebagian ramai-ramai akan memukuli Abu Nawas. Tapi aparat keamanan dari Kerajaan Abasyiah mengamankannya dan membawa Abu Nawas dalam ruang interogasi.

Penyidik bertanya, “Hai Abu Nawas atas dasar apa kau mencuri kursi?,”

Abu Nawas hanya diam membisu tak satu katapun keluar. Sang penyidik hampir saja memukulnya. Hingga ditanya komandan polisi kerajaan sekalipun Abu Nawas tetap diam.

Akhirnya oleh arapat keamanan Abu Nawas dibawa ke istana untuk dipertemukan dengan Raja. Kali ini raja yang akan menyidangkan kasus pencurian kursi dengan tersangka Abu Nawas. Persidangan disaksikan para menteri, gubernur dan bupati kerajaan. Sang raja yang sudah kelihatan marah pun bertanya,” Hai Abu Nawas kenapa kau mencuri kursi?” Abu Nawas masih juga membisu. Sang raja mencari akal agar Abu Nawas berbicara. “Oke, Abu Nawas, aku akan beri hadiah kalau kau mau berbicara. Sekarang bicaralah agar aku tidak salang menghukum,” ujar sang raja.

Abu Nawas akhirnya mua buka suara. “Begini sang raja, aku berbicara sebenarnya jika tuan memenuhi permintaanku,” ujar Abu Nawas. “Apa permintaanmu Nawas,” tanya sang raja. “Permintaanku adalah agar tuan menyuruh para menteri, gubernur dan bupati menunjuk hidung para pencuri dan maling di sekitar istana kerajaan,” ujar Abu Nawas. Sang raja rupanya setujua dan memerintahkan menteri, bupati dan gubernur menunjuk hidung para maling di istana.

Suasana sidang pun menjadi gaduh dan ribut. Sebab semua saling tunjuk hidung bahwa ternyata para pembantu sang raja semuanya maling. Raja makin marah sebab ia tidak menyadari bahwa ia dikelilingi para maling. Pantas saja kalau program pembangunan kerajaan banyak yang bocor. Hingga tercatat dalam sejarah kerajaan Abasyiah pun hancur dan tinggal kenangan. Sang raja akhirnya menghukum semua maling istana dan melepas sang Abu Nawas setelah ia mengaku mencuri kursi untuk alasan memberi pelajaran.

Kisah Abu Nawas diatas meski sudah berusia ratusan tahun tapi tampaknya relevan dibawa ke alam kekinian, terutama dalam konteks Ciamis. Sayangnya sosok Abu Nawas tidak hadir dalam suasana Ciamis, sehingga para “maling” hingga kini tetap terhormat dalam jabatannya yang mentereng. Tentu saja maling para era Abu Nawas dengan era sekarang jelas berbeda baik karakter, cara memalingnya hingga modus operandi menghilangkan jejaknya. Tapi ada persamaan bahwa maling yang dekat istana selalu selamat, sedang maling di ruang publik akan dihajar langsung baik oleh masyarakat maupun aparat.

Maling di seputar istana inilah yang akan mendorong sang pemimpin ikut jadi maling, apalagi jika sebelum dinobatkan duduk di kursi singgasana sang pemimpin sudah dirogoh koceknya. Makanya kalau belakangan kita membaca berita banyak bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, anggota dewan dan pejabat teras yang meringkut di penjara itu pertanda bahwa tingkat kemalingan mereka sudah demikian parah. Tapi anehnya, meski telah banyak bupati dan wakilnya yang meringkuk dipenjara,tampaknya tidak menyurutkan orang untuk merebut kursi kekuasaan. Bahkan kian banyak yang siap membuang uang demi meraih singgasana. Tak terkecuali di Kabupaten Ciamis yang tahun depan akan melaksanakan hajat politik memilih pemimpin tertinggi.

Karena itu bagi yang berminat menduduki kursi bupati sebaiknya melakukan perenungan soal permalingan. Dalam konsep bahasa kata maling bisa bermakna perbuatan tapi sekaligus bermakna mentalitas. Boleh jadi sehari-hari kita melihat orang itu sholat, naik haji dan soleh. Tapi mentalitas dia adalah maling sehingga sulit diberi amanah karena ia senang menyunat, mengkorupsi dan perbuatan sejenis. Maling jenis ini sulit pembuktiannya karena ia selalu tampil menawan dan profesional. Jika mentalitas maling menguasai atmosfir batin dan cara berpikir orang, maka hajatan politik pun akan dimanfaatkan untuk menaikkan “raja maling” yang telah menjadi Malin Kundang.

Untuk itu, Ciamis saat ini membutuhkan sosok Abu Nawas untuk menduduki jabatan bupati. Selain zuhud (baca: berani berkorban dan hidup sederhana, red) Abu Nawas juga berani menyikat maling istana. Siapapun bupatinya dan bagaimanapun solehnya ia lambat laun juga akan menjadi “bangsa maling” jika setiap hari di istana dicekoki suguhan hasil maling. Sudah lama APBD Ciamis dijadikan bulan-bulanan kaum pemaling dengan modus yang canggih dan nyaris tak terendus. Jadi sampai kapan kita diamkan keadaan ini ?

Tapi saya sendiri pesimis bisakah kita memilih bupati sekaliber Abu Nawas? Tampaknya melihat pergeseran nilai sosial saat ini, saya tidak yakin tahun 2008 kita akan memiliki bupati yang ideal dan bersih. Kenapa demikian ? Tolong dicermati soal kriteria calon kandidat bupati. Hampir sembilan puluh persen penduduk Ciamis yang melek politik menentukan kriteria pertama adalah berapa tabungan kandidat di rekening. Soal dia jujur, bersih atau tidak itu ditempatkan dalam nomor belakang. Jadi sangat mafhum jika kelak sang bupati yang telah mengeluarkan dana miliaran juga akan apatis terhadap masyarakat.

Setidaknya itulah bayangan gelap ke depan. Entah penyakit apa yang menjangkiti masyarakat Ciamis, belakangan masyarakat senang disuap atau menjual hak pilihnya. Benarkah alasan ekonomi semata atau ada alasan lain? Berdasarkan hasil survai dan pemetaan politik, ternyata jual beli hak pilih sebagian memang karena soal ekonomi, terutama masyarakat kecil yang dijual kepalanya oleh para elit politik. Sedangkan bagi kelas menengah elit politik, jual beli hak pilih dan perahu semata-mata untuk menambah kekayaan. Jadi jangan salahkan jika kelak bupati terpilih kembali menjadi maling.

Seperti diketahui, tipikal kelas menengah dan elit politik Ciamis adalah borjuis menak yang ingin selalu diperlakukan terhormat dengan kekayaan dan jabatannya. Itulah sebabnya mereka selalu menampilkan diri serba tahu hajat masyarakat bahkan seperti mendapatkan mandat untuk menentukan masa depan masyarakat. Dan masyarakat kecil yang sudah hafal dibohongi mengiyakan dengan kompensasi uang atau proyek. Akhirnya terbangunlah sombiosis mutualisme yang memunculkan kaum oportunistik. Kondisi sosial politik semacam ini jelas kurang menguntungkan untuk membangun demokratisasi di tingkat lokal.

Karena itu siapa lagikah yang peduli dengan masa depan Ciamis? Saatnya arus bawah maju melakukan perubahan radikal dengan menempatkan kelas menengah dan elit dalam posisi pinggir bukan penentu perubahan sosial. Pasalnya selama ini kebijakan pembangunan apapun yang selalu menikmati adalah kelas menengah dan elit, sebab mereka memang punya akses dengan jaringan politik kekuasaan. Jaringan ini harus dipotong dan kemudian pembangunan difokuskan ke basis masyarakat. Termasuk dalam pola penganggaran, masyarakat harus berpartisipasi. Ini kalau Anda sebagai masyarakat tidak menggadaikan hak pilih dan idealisme kepada calon bupati yang diusung kaum pemaling lho...***


Penulis adalah pengamat politik lokal yang kini tercatat sebagai mahasiswa S2 Magister Ilmu Lingkungan Unsoed Purwokerto.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Ciamis baru saja selesai hajatan PILKADA. Selamat kepada dulur-dulur yang telah berpartisipasi ikutan PILKADA dengan tertib dan aman! Selamat juga kepada para Golputers!

Sayangnya Abu Nawas ngak kepilih.

Untuk daerah-daerah yang belum menyelenggarakan PILKADAL, Pilih Saya No.1 sila kunjungi di http://opiniorangbiasa.blogspot.com

SK BUSER mengatakan...

he.he...he... posting baru dong pak lama2 bosen kalau ga ada yang baru. kapan kita tempur PAK dah kangen buanget. mari kita hancurkan ANTEK-ANTEK . salam buat musuhku pak bilangin siap-siap aja buat di kasih pelajaran itu yang namanya ANTEK-ANTEK.

Abah Zidan mengatakan...

Siap lur