Minggu, 20 Januari 2008

MUI dan Aliran Sesat Oleh A.Mukhlis El-Rifqi
Kota santri yang dikenal sejuk dan nyaman kini kian memanas dan tak nyaman untuk ruang ekspresi keberagamaan. Hanya karena keyakinan berbeda, penganut Ahmadiyah di Tasikmalaya dibantai dan dirusak rumahnya. Hal yang sama juga menimpa penganut Ahmadiyah di Ciamis, yang haknya dibatasi hanya karena ia Ahmadiyah.Sebulan ini catatan tentang kekerasan yang menimpa mereka yang dituduh sesat semakin panjang lagi. Tak ada yang bisa menahan kekerasan tersebut termasuk aparat kepolisian sendiri. Masyarakat dibuat "pusing" dengan manuver dua kubu umat Islam yang perang klaim kebenaran dalam memahami Islam.
Tulisan ini tidak ada tendensi apapun kecuali memberikan pemandangan yang berbeda dengan arus pemikiran Islam di tingkat lokal. Tidak ada maksud "suul adab" kepada ulama dan kiyai, bahwa tulisan ini diilhami oleh sebuah tulisan pemikir muda NU Anis Masduki di sebuah situs yang mencoba menempatkan ulama dalam kapasitas kemanusiaannya. Sehebat apapun ulama tetap tidak ada hak mewakili kehadiran Tuhan. Begitu juga dengan mereka yang diklaim beraliran sesat tetaplah manusia yang sedang mencari Tuhan. Mereka jelas membutuhkan bimbingan dan dakwah, bukan malah dihakimi ramai-ramai dengan kekerasan yang tak terbayangkan.
Sejak merebaknya aliran sesat, MUI tampil galak karena merasa punya otoritas menafsirkan orisinalitas Islam. MUI menuding pemahaman yang keluar dari arus utama sebagai pemahaman sesat. Otoritas ini pula yang mendorong MUI bersikap keras hendak memberantas pemikiran dan keyakinan yang tak sesuai "selera mereka" dengan meminjam tangan negara. Padahal cara semacam ini hanya akan menyisakan sejarah kelam yang mungkin berdarah-darah. Dakwah Islam semestinya jauh dari kenyataan Itu. Penghakiman dan penghukuman tak jarang justru kedok dari kegagalan dakwah. Ia menjauhkan diri dari rasa rendah hati dan kesanggupan introspeksi.
Keputusan Rakernas MUI 2007 yang memberikan pedoman soal bagaimana mengindentifikasi aliran sesat makin meneguhkan betapa MUI begitu panik. Berbagai alasan dikemukakan seolah-olah itu kebutuhan masyarakat yang mendesak sebelum terjadi korban. Padahal masyarakat lebih terdesak oleh problem ekonomi yang menjadi garapan pemerintah maupun MUI. Klaim keresahan pun dikesankan MUI saja. Masyarakat lebih galau ketika menghadapi khutbah-khutbah, gertakan, dan aksi-aksi Islam garis keras dengan berbagai level anarkinya.MUI mendefinisikan aliran atau kelompok sesat sebagai “paham atau pemikiran yang dianut dan diamalkan sebuah kelompok yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam serta dinyatakan MUI menyimpang berdasarkan dalil syar'i. Sekretaris Umum MUI, HM Ichwan Syam dalam konferensi pers Rakernas MUI mengatakan, “… Mereka yang tidak bersedia kembali ke jalan yang benar atau bertobat, maka hendaknya diadili.”
Terlepas siapa yang paling berhak menafsirkan kebenaran wahyu, yang jelas dari kasus pemberantasan aliran sesat versi MUI kita melihat ada yang perlu didiskusikan. Ada pertanyaan yang layak diajukan yakni bisakah orang berbeda pemahaman diadili? Bisakah orang sesat pemikiran dan akidahnya dihukum pancung? Dengan menggunakan "mafhum mukholafah" MUI menyiratkan bahwa penganut aliran sesat boleh dihakimi dan mungkin bisa dipancung. Jika ini yang diyakini, tentu akan ada bahaya besar yang mengancam. Padahal Islam sangat toleran dan memberikan kebebasan keyakinan. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang bisa ditelaah, di antaranya,pertama, ayat-ayat yang menyatakan iman dan kufur adalah masalah individual yang tak boleh diintervensi apalagi dipaksakan dari luar. Lihatlah surat al-Baqarah: 256; al-Isra: 15; al-Kahfi: 29; an-Naml: 93; Ar-Rum: 44; al-Fathir: 39; dan az-Zumar: 41.
Kedua, petunjuk semata-mata datang dari Allah dan bergantung pada kehendak-Nya. Dalam hal ini, malaikat pun tak bisa memaksakan pemahaman yang benar atas Islam, apalagi MUI. Juru dakwah hanya bisa mengajak dengan baik, tidak dengan teror, apalagi menangkap, mengadili, dan menghukumi. Ayat-ayat yang menguatkan pendapat ini di antaranya al-Nisa: 88; Yunus: 100; al-Qashash: 56; dan Fathir: 8.Ketiga, perbedaan akidah di antara umat manusia adalah bagian dari skenario dan kehendak Allah. Dia-lah yang akan menghukuminya kelak di hari kiamat. Klaim kebenaran dan tindak penyesatan dengan demikian melampaui wewenang yang sesungguhnya hanya dimilik Allah. Kita bisa melihat Alquran surat al-Baqarah: 62, 113, 137, 148; Ali Imran: 84; Hud: 119; al-‘Ankabut: 46; az-Zumar: 46, as-Syura: 10; dan al-Kafirun: 6.
Ayat-ayat diatas tentu saja hanya Allah yang tahu makna yang sesungguhnya. Kita sebagai manusia hanya bisa menangkap pesan yang disampaikan. Tentu saja pesan yang diterima akal pikiran kita kebenarannya bersifat relatif, sedangkan kebenaran wahyu bersifat absolut. Meski bersifat relatif, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam memberikan ruang kebebasan keyakinan.Termasuk keputusan Rakernas MUI 2007 pun tidak mengandung kebenaran yang absolut soal aliran sesat, sebab boleh jadi pemahaman MUI dalam memaknai wahyu terjadi bias dengan kepentingan.Karena itu, MUI juga harus mau menerima kritik sebab langkahnya masih dalam ranah pemikiran.
Dalam sejarah Islam, ayat-ayat itu hanya diterapkan secara maksimal pada masa Kenabian dan Khulafaur Rasyidin. Nabi Muhammad membangun integrasi agama-agama dan aliran kepercayaan dalam bingkai Negara Madinah. Serangan Abu Bakar terhadap muslim yang murtad terjadi karena mereka melakukan subversi atas negara. Ini bukan karena pindah agama.Ekspansi Islam dibarengi toleransi keberagamaan yang tinggi. Sebelum melepas Usamah Ibn Zayd melakukan ekspedisi militer, Abu Bakar berpesan: “Jangan sekali-kali membunuh anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia. Jangan merobohkan bangunan, pepohonan, dan membunuh binatang. Kalian juga akan melihat orang keluar dari gereja, maka biarkanlah mereka. Dan janganlah kalian merebut makanan-makanan mereka!”
Tradisi intelektual fase Muawiyah masih terbatas pada periwayatan hadits, fiqh, tafsir. Klaim kebenaran dan penyesatan terjadi pada masa Abbasiyah. Istilah zindiq dan mulhid terdengar nyaring. Pemicunya diskusi-diskusi teologis dan filosofis dalam soal-soal agama mendasar. Banyak orang dituding sesat dan dipenjara.Lalu kita mengenal al-Mahdi, khalifah pemburu zindiq dan murtad. Ia membentuk lembaga inkuisisi dan menunjuk seorang bergelar Shahib az-Zanadiqah (Pemburu orang Zindiq). Penulis al-Aghani merekam, “Ketika al-Mahdi datang ke Basrah, ia ditemani Hamdaweh, Shahib al-Zanadiq. Waktu itu seorang tokoh Mu’tazilah, Basyar dituduh zindiq. Al-Mahdi menitahkan pembunuhannya seketika.”At-Thabari dalam Tarikh al-Thabari bercerita soal fenomena sama. Al-Mahdi melantik Umar al-Kalwadzi guna melakukan investigasi dan menindak kepercayaan yang dianggap menyimpang. Inilah pertama kali munculnya lembaga pemeriksa akidah di dalam sejarah Islam. Umat Islam mulai merasa berhak mengurusi kepercayaan dan keyakinan orang lain.
Parahnya, negara dilibatkan dalam klaim dan penindakan. Sejarah penyesatan dan pengafiran selalu terkait dengan kepentingan politik. Ahmad Ibnu Hanbal terlunta-lunta di bawah rezim al-Ma’mun, Ibn Taymiah meninggal di penjara rezim politik ortodoks. Kita juga menyaksikan penganut keyakinan tertentu bersimbah darah: Jahm bin Sufyan, Ghulam Khalil, al-Hallaj, Suhrawardi, Ibn Sab’in dan seterusnya. Hilangnya nyawa mengikuti logika menang-kalah dalam rezim politik yang silih berganti.(Anis Masduki,18/1/2008).
Dengan membolehkan kekerasan dalam menindak "alirat sesat" maka ulama yang mengaku pewaris Nabi telah menobatkan dirinya setara dengan Nabi. Padahal nabi dan Rasul saja tidak diberi otoritas oleh Allah untuk menghukumi iman yang berbeda. Rasul diutus untuk memberikan kabar gembira kepada umat manusia, bukan malah menyampaikan berita penghakiman. Kita bisa mengeceknya dalam Alquran surat al-An’am: 48, dan al-Ahzab: 45. Begitulah yang terjadi pada Nabi Idris, Musa, Daud, Sulaiman, dan Muhammad. Ulama harusnya bisa meneladani peran ini.
Menyampaikan berita gembira berarti berdakwah. Berdakwah berarti mengajak menuju tauhid. Tak lagi menyembah berhala, manusia, maupun menghambakan diri pada materi dan jabatan. Begitupun mengajak ibadah sebagai implementasi tauhid. Menghakimi dan menghukumi berada di luar wilayah dakwah. Pengalaman Islam Madinah menunjukkan, konsep negara di dalam Islam adalah sekuler atau netral agama. Warga negara berhak mendapat perlakuan sama berlandaskan kewarganegaraan, bukan agama dan kepercayaan. Hanya Tuhan yang berhak bicara hukum Tuhan lewat perantara Nabi-Nya. Nabi pun mendapat kawalan dan teguran langsung dari Tuhan.
Dalam Surat Shad, Nabi Daud mendapat teguran langsung dari Allah. Nabi Muhammad sering juga mendapat teguran, seperti dalam Al-Anfal: 67. Setelah Nabi Muhammad meninggal, tak seorang pun berhak bicara atas nama hukum Tuhan. Hukum Tuhan, menurut al-Asymawi, diserahkan saja pada masyarakat untuk mengatur diri mereka menuju kebaikan dan kemajuan (at-taqaddum wat taraqqi). Karena kenabian tak pernah diwariskan (nahnu la naritsu wala nuratsu), maka pendapat dan tindakan siapa pun bisa dikritik. Orang selain Nabi tidak pernah mendapatkan teguran langsung dari Tuhan. Karena itu, pendapat dan tindakan MUI bisa pula dikritik dan disalahkan. Siapapun yang mengatasnamakan Tuhan saat ini, tak lain hendak menancapkan kesan sakral dan maksum pada diri mereka.
Pernyataan Wapres Jusuf Kalla relevan dijadikan koreksi oleh MUI. Ia mengajak ulama untuk introspeksi diri dan mengkaji kesalahan dakwah yang mereka lakukan. Ia juga mengingatkan, “Kita harus lihat di mana letak dakwah ajaran dan kesalahan ajaran ini, dibahas dan kemudian diluruskan. Kita jangan menghindari persoalan, jangan sampai nanti muncul paham Islam memakai kekuasaan untuk dakwah.”
Akhirnya marilah kita sama-sama introspeksi dan mengambil hikmah. Munculnya aliran sesat pasti lahir bukan di ruang hampa, tapi ia lahir di saat para pemuka agama asyik dengan dirinya sendiri. Mereka kehilangan cahaya, sehingga tertarik kepada sosok yang berani membebaskan mereka dari kungkungan kegelapan. Atau jangan-jangan ulama kita pun sama sedang dirundung kegelapan dunia sehingga tak ada waktu mengkaji kitab kuning dan kehilangan kesempatan belajar. Jangan-jangan ulama kita sedang mengalami "kejumudan ijtihad" karena sibuk melayani orderan politik, sehingga gampang memberikan fatwa yang membahayakan.Wallahu 'alam.***
Penulis, staf pengajar Agama Islam di Universitas Galuh Ciamis. Kini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Magister Ilmu Lingkungan di Unsoed Purwokerto.

Jumat, 18 Januari 2008