Jadilah Ibrahim !
Lelaki tua berambut putih itu masih termangu memikirkan mimpinya semalam. Puluhan tahun ia tak punya anak, tapi setelah diberi anak, sebuah mimpi yang datang dari Allah memerintahkannya agar menyembelih anaknya. “Bagaimana mungkin aku tega menyembelih anak kesayanganku”, gumam Nabi Ibrahim dengan nada sedih. Namun ia tak larut dalam kesedihan itu, ia pun bangkit menegarkan diri dan mendiskusikan dengan anaknya Ismail. Pagi itu Ibrahim melihat Ismail terlihat cerah dan ceria. Dipanggilnya Ismail dan keduanya duduk untuk diskusi.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku semalam bermimpin. Tuhan menyuruhku menyembelihmu. Apa pendapatmu?,” tanya Ibrahim terharu. Buliran airmata membasahi mata Ibrahim. Namun Ismail ternyata anak yang soleh. “Wahai ayah, laksanakanlah mimpi itu, semoga aku termasuk orang-orang yang bersabar,” ujar Ismail. Ibrahim pun terdiam mendengar pendapat anaknya yang tulus menerima perintah Allah. Keesokan harinya Ibrahim mengasah golok dan menyiapkan tempat penjagalan.
Tibalah waktu pelaksanaan penyembelihan. Ismail yang polos membaringkan dirinya di tempat penjagalan. Ibrahim dengan golok terhunus pun sudah siap menyembelih leher Ismail. Ada perasaan berat tapi demi melaksanakan perintah Allah, ia pun mengikhlaskan diri jika harus kehilangan anaknya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, “gumam Ibrahim seraya mengangkat goloknya. Dan begitu mata golok menyentuh kulit leher Ismail, datanglah malaikat membawa domba sebagai pengganti Ismail. Inilah tonggok diwajibkannya ibadah Qurban bagi yang mampu.
Kini Ibrahim memang tinggal cerita, namun nilai kepahlawanan, keikhlasan dan rela berkorban yang ditunjukkan oleh Ibrahim terus membekas dalam benak umat Islam. Sayangnya, ayah-ayah saat ini jauh dari keteladanan Ibrahim. Ayah model sekarang adalah ayah yang selalu memanjakan anak dengan fasilitas materi yang menuntun anak menjadi egois. Ayah sekarang tidak mendidik anaknya menjadi Ismail, tapi anak dengan tipikal egois.
Sifat ini belakangan kian menggejala sehingga hampir di semua lini banyak orang yang menjadikan egoisme sebagai prilaku keseharian. Saking egoisnya, orang semacam ini tega memakan temannya, hanya gara-gara urusan materi dan jabatan. Penyakit ini sekarang menjangkiti ayah dan anak-anak yang pejabat, pengusaha, pemborong, politisi, aktifis, kiyai, jaksa, hakim, dokter , perawat, direktur ,ulama dan bahkan preman di terminal.
Dampak dari penyakit mementingkan dirinya sendiri inilah, mereka kemudian mengembangkan sistem patron politik, kekuasaan dan monopoli akses ekonomi dan keuangan. Uang publik yang seharusnya memakmurkan rakyat banyak hanya berputar di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tidak punya jaringan hanya bisa menonton. Celakanya lagi uang rakyat kemudian diklaim seolah-olah milik patron mereka. Idul Adha seharusnya menjadi wahana mensucikan diri dari egoisme. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar